Created by, Ressa Novita (Ocha)
“Sastra???” seruku pelan, setelah
menemukan nama pengirim di balik bungkusan persegi panjang berbalut
kertas kopi. Bungkusan sedikit lecek itu baru saja kutemukan di dalam
kotak pos di depan rumahku.
Nama itu bukan nama yang asing bagiku,
bahkan itu adalah sebuah nama yang akan selalu mengisi salah satu bilik
jantung dan sudut hatiku.
Sastra…
Kurobek kertas kopi pembungkus
pada bagian tepinya. Jika ini hari yang sama dengan hari di 5 tahun
yang lalu, pasti di balik pembungkus ini ada sesuatu yang sama. Sesuatu
yang pernah menjadi awal perubahan jalan hidupku menjadi Wanda yang hari
ini berdiri dengan penuh rasa.
“I’m Sorry, My Love!” ucapku spontan
membaca judul di cover buku setebal satu setengah sentimeter berwarna
biru laut itu. “Enak aja!” caciku kecil.
Kubuka halaman pertama dari
buku itu, dengan harapan akan mendapatkan sesuatu yang menarik dari buku
berdesain cover amat sederhana itu. Kutemukan selembar kertas berisi
sebuah pesan.
For : Wanda
Mungkin sudah terlambat aku
mengucapkan kata maaf. Tapi hatiku tak pernah berhenti menyesali. Selama
2 tahun aku menanti maaf darimu. Entah apa lagi yang harus kulakukan
untuk bisa mendapatkan kata ajaib itu. Pagi ini, jam ini, menit dan
detik ini aku kirimkan sebuah buku sebagai tanda cintaku yang masih sama
dengan yang dulu. Wanda, aku tidak pernah berhenti mencintaimu
selamanya! Aku harap dengan datangnya buku ini kamu mau menerima hatiku
untuk kedua kalinya!
With Love
Sastra
Sastra, nama itu
kembali melekat rekat memenuhi benakku. Membawaku kembali ke masa lalu,
ke masa saat aku hanyalah Wanda yang tak mengenal Sastra.
Saat itu
aku duduk di SMU kelas 2. Teman-teman sekelasku bilang aku bintang kelas
yang paling malas. Maksud mereka malas membaca. Dan aku akui kebenaran
sempurna dari julukan yang mereka berikan padaku. Di sekolah selalu
dengan mudah aku meraih gelar juara kelas, tapi itu semua kudapatkan
bukan karena aku rajin belajar, melainkan daya tangkap otakku yang
lumayan cemerlang. Cukup hadir di kelas dan mendengarkan penjelasan
guru, aku akan mengingat setiap kalimat yang kudengar tanpa bantuan buku
atau apapun.
Ketika semua remaja gemar membaca apapun yang
berhubungan dengan dunia remaja, aku akan memainkan kaki-kakiku untuk
berlari. Yah, aku suka berlari. Aku adalah salah satu atlit lari
berprestasi di tingkat SMU. Selain lari, aku juga gemar olahraga jenis
yang lainnya. Sebutkan salah satu, dan aku akan memainkannya dengan
cukup mahir. Tapi jangan sodorkan buku padaku, karena judul dan
pengarangnya saja tidak akan aku baca dengan serius.
Pikirku, peduli
amat dengan buku dan apapun yang berisi tulisan-tulisan mesin cetak.
Mataku lebih berguna jika digunakan untuk menatap lurus ke depan saat
berlari.
Pemikiran itu segera berubah, tak perlu menunggu lama.
Dimulai dari suatu pagi dengan kiriman buku dari seorang pria bernama
Sastra. Buku kumpulan syair Kahlil Gibran. Luar biasa bahagianya aku
ketika mendapatkan kiriman buku itu. Tentu saja rasa bahagia itu bukan
karena aku menyukai buku itu, tapi karena buku itu kiriman dari seorang
pria yang pernah aku kagumi di masa SMP dulu. Sastra adalah seniorku di
SMP, ia tinggal tidak jauh dari kompleks dekat rumahku. Meskipun
demikian tidak pernah berhasil aku mendekatkan diri dengannya. Dibilang
kurang agresif, ya cukuplah untuk ukuran seorang cewek SMP yang masih
lugu. Mungkin kesempatan untuk bersama belum diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Setelah aku lulus SMP sudah tidak lagi aku berpikir untuk
mendekatinya. Aku sudah terlanjur yakin kalau kita memang tidak
berjodoh. Aku hanya bisa sesekali menanti kemunculannya setiap berjalan
pulang ke rumah. Untuk sekedar menghapus kerinduanku padanya.
Lalu
akupun tergelitik untuk membaca buku itu sampai selesai. Ajaib, tiap
bait kata indah yang diciptakan Kahlil Gibran begitu mendalam dan dapat
menggambarkan apa yang ia pikirkan. Dan ternyata buku itu bukan yang
pertama dan yang terakhir yang pernah kubaca. Malah buku itu adalah awal
dari puluhan bahkan ratusan buku lainnya yang akan aku baca.
Dunia
sedikit kacau menyaksikan perubahanku. Aku ketagihan membaca apapun
terutama yang berhubungan dengan sastra. Dan aku mulai melupakan
olahraga yang biasanya menjadi image ku. Tapi aku senang karena aku
mengarungi dunia Sastra bersama Sastra yang aku cintai.
“Hei, buku apa itu?!”
Yang
bertanya itu temanku, Yana. Semalam ia menginap di rumahku dengan
alasan ingin membongkar dan merampas semua buku-buku menarik yang
kumiliki. Saat ini kami sama-sama sedang menyelesaikan kuliah di salah
satu fakultas sastra di kota ini. Jadi buku-buku itu menjadi begitu
berharga bagi kami. Termasuk buku yang baru saja kudapatkan pagi ini.
“Ehm, bahan pembelajaran baru! Baru kutemukan di kotak pos. Lumayan, dari ringkasan ceritanya sepertinya isinya menarik”
“Kiriman siapa?!”
“Sastra”
“Wah!!!” serunya riang saat pertanyaannya terjawab seperti yang ia harapkan.
Yana
sahabatku sejak kecil, ia tinggal tepat di sebelah rumahku. Ia tau
bagaimana hubunganku dengan Sastra, berapa lama kami bertahan, dan
kenapa kami berpisah. Ia salah satu saksi hidup perubahanku. Dia sama
seperti remaja-remaja pada umumnya, gemar membaca buku-buku sastra
terutama yang berhubungan dengan cerita cinta. Bahkan dia mendalami
dunia itu. Betapa senangnya Yana ketika ia melihatku membaca buku
kumpulan syair pemberian Sastra itu.
“Apanya yang WAH?!” keluhku sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat wajah puas Yana.
“Wah!!! Ada sinyal untuk bersama lagi, nich
Posting Komentar