Aku tak tahu apa yang aku tulis ini benar atau tidak, tapi aku hanya ingin mencoba perkenalkan apa saja yang ada di Makassar sebagai kota kelahiranku. Aku sangat mencintainya karena di sana tak hanya ada keluargaku juga calon suamiku, tapi juga disana ada kenanganku bersama kedua sahabatku ( Ary dan Imam ). Kali ini aku ingin bercerita tentang tarian Pakarena, aku suka menari dan aku pernah mencoba untuk belajar tari ini. Tapi, jujur tarian ini lebih sulit dari yang di bayangkan. Karena tingkat kesulitannya itulah yang membuat tarian ini jarang atau bahkan tak ada remaja yang mau mempelajarinya lagi.
Memang tak ada orang yang tahu persis sejarah Pakarena termaksud aku, tapi dengan apa yang pernah di dongenkan oleh guru tariku maka itu pula lah yang akan aku bagi di sini. Tapi, dari cerita-cerita lisan yang berkembang, tak diragukan lagi tarian ini adalah ekspresi kesenian rakyat Gowa.
Memang tak ada orang yang tahu persis sejarah Pakarena termaksud aku, tapi dengan apa yang pernah di dongenkan oleh guru tariku maka itu pula lah yang akan aku bagi di sini. Tapi, dari cerita-cerita lisan yang berkembang, tak diragukan lagi tarian ini adalah ekspresi kesenian rakyat Gowa.
Menurut Munasih Nadjamuddin yang seniman Pakarena, tarian Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai
tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat
gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang
kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.
Sebagai
seni yang berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang
batin masyarakat Gowa dan sekitarnya. Meski tarian ini sempat menjadi
kesenian istana pada masa Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16, lewat
sentuhan I Li’motakontu, ibunda sang Sultan. Demikian juga saat seniman
Pakarena ditekan gerakan pemurnian Islam Kahar Muzakar karena dianggap
bertentangan dengan Islam. Namun begitu tragedi ini tidak menyurutkan
hati masyarakat untuk menggeluti aktifitas yang menjadi bagian dari
hidup dan kehidupan yang menghubungkan diri mereka dengan Yang Kuasa.
Belakangan
ini tangan-tangan seniman kota dan birokrat pemerintah daerah (pemda)
telah menyulap Pakarena menjadi industri pariwisata. Dengan bantuan
tukang seniman standar estetika diciptakan melalui sanggar-sanggar agar
bisa dinikmatin orang luar. Untuk mendongkrak pendapatan
daerah, alasannya. Sebagian seniman mengikuti standar resmi dan
memperoleh fasilitas pemda. Tapi sebagian seniman lain enggan mengikuti
karena dianggap tidak sesuai tradisi adat setempat, meski menanggung
resiko tidak memperoleh dana pembinaan pemda atau tidak diundang dalam
pertunjukan-pertunjukan.
Dg
Mile (50 tahun), misalnya. Seniman Pakarena asal desa Kalase’rena, Kec.
Barang lompo ini tergolong teguh pendirian. Ia biasanya mencari
berbagai cara berkelit untuk tidak menghadiri undangan departemen
pariwisata. Kadang beralasan sedang ada acara ritual sendiri di
kampungnya atau menghadiri sunatan dan pengantin tetangganya, atau kalau
pun tidak bisa menolak maka ia akan menuntut syarat agar teman-temannya
tidak terlantar usai pertunjukan.
Cara
lain yang agak berbeda ditunjukkan Sirajuddin Bantam. Anrong guru
Pakarena dari Gowa ini terang-terangan menolak tampil jika ada pejabat
yang mau mendikte tampilan penarinya. Bahkan saat diminta tampil, ia
tidak segan mempertanyakan lebih dulu keperluan pertunjukan itu dan
sejauh mana menguntungkan teman-temannya. Karena ia tahu ada jenis
tarian yang bisa dipertontonkan dan mana yang hanya bisa tampil di
acara-acara tertentu. Sirajuddin juga kadang ngibulin pejabat yang menuntut tampilan tertentu dengan tiba-tiba mengubah sendiri skenario tarian di atas panggung.
Sikap
yang ditempuh para seniman ini memang bukan tanpa resiko. Mereka harus
merawat tradisi Pakarena dengan hidup pas-pasan tanpa bantuan
pemerintah. Hanya dengan kreatifitas saja mereka bisa bersaing dengan
seniman kota yang menikmati fasilitas dan kesejahteraan jauh di atas
rata-rata.
Kecerdikan
ini misalnya dipunyai Sirajuddin dan Dg Mile. Sirajuddin
mendokumentasikan sendiri tarian Pakarena dan lalu memperkenalkannya ke
publik sampai mancanegara. Tentu saja dia dan para seniman kampung yang
bersamanya juga mengkreasi Pakarena ini. Tapi ia sungguh menyadari mana
tarian yang bisa dikreasi dan mana yang tidak. “Royong yang biasa dipakai ritual, tak perlu ditampilkan. Hanya pakarena Bone Balla yang ditampilkan,” ujar pemilik sanggar tari Sirajuddin ini, sembari menjelaskan bahwa Bone Balla biasa dipertontonkan kerajaan untuk menyambut para tamu.
Sementara itu, Dg Mile yang juga pemilik sanggar Tabbing Sualia ini lebih
memilih tampil sendiri tanpa bergantung sama pemda. Paling banter dia
dan kelompoknya hanya mau tampil bila bekerja sama dengan LSM tertentu
yang peduli terhadap kesenian rakyat. ”Selama ini saya lebih suka main
dengan Latar Nusa ketika mau menampilkan kesenian Pakarena di dalam dan
di luar negeri,” kata Dg Mile menyebut nama LSM itu.
Begitulah,
rupanya kaum seniman memiliki pengertian beda mengenai Pakarena. Orang
macam Dg Mile dan Sirajuddin menyadari, Pakarena yang ”dipasarkan” pemda
selama ini cenderung terpisah dari kehidupan, tradisi, dan makna yang
diimajinasikan komunitas. Proses itu hanya menguntungkan seniman kelas
menengah di kota dan kepentingan tertentu di pemerintahan. Seperti
keinginan pemda mengubah pakaian penari tradisi di Sulsel agar sesuai
dengan norma agama tertentu.
Jelas ini
melahirkan kerisauan. Dg Mile sampai-sampai menjelaskan berulangkali
kalau Pakarena tidaklah syirik karena ditujukan kepada Yang Kuasa.
Sirajuddin pun meminta agar para agamawan tidak menggunakan syariat yang
formalis saja dalam menilai kesenian, tapi menggunakan hakikat atau
tarekat. “Jika pemahaman mereka benar, tidak ada kesenian kita yang
bertentangan dengan agama,” ujar Sirajuddin, sambil mencontohkan istilah
passili dalam Pakarena yang berarti memerciki para seniman dan
peralatannya dengan sejumput air agar membawa keberuntungan, selaras
dengan agama. ”Lalu mana lagi yang harus diberi warna atau nuansa
agama,” kata Sirajuddin mengakhiri argumentasinya.
Kalau
sudah begini, soalnya menjadi tergantung siapa yang menafsir. Kebenaran
kembali ada dalam keyakinan para penghayatnya. Bukan elit agama atau
birokrasi yang kerap memonopoli makna.[Liputan oleh Syamsurijal Adhan]
Sikap
batinnya hening, penuh kelembutan, dedikatif, itulah kesan yang tersirat
dari gemulainya gerakan penari ini. Tari Pakarena yang dibawakan penari
ini adalah tarian kas masyarakat Sulawesi Selatan. Setiap penari harus
melakukan upacara ritual adat yang disebut jajatang, dengan sesajian
berupa beras, kemeyan dan lilin. Ini dimaksudkan untuk memperoleh
kelancaran sepanjang pertunjukan berlangsung.
Pakarena adalah bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya
main. Sementara ilmu hampa menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi
di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa.Ini dulunya, pada upacara-upacara kerajaan Tari Pakarena ini dipertunjukkan di Istana. Namun dalam perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih memasyarakat di kalangan rakyat. Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kelembutan mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama terhadap suami.
Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap bagian tarian.
Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia.
Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam.
Tidak salah kalau seorang penari Pakarena harus mempersiapkan dirinya dengan prima, baik fisik maupun mental. Gerakan monoton dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya.
Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit pula yang kemudian enggan melanjutkannya saat memasuki jenjang pernikahan. Namun tidak demikian halnya seorang Mak Joppong. Perempuan tua yang kini usianya memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena.
Ia seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia seorang empu Pakarena. Mak Joppong sampai sekarang masih bersedia memenuhi undangan. Untuk tampil menarikan Pakarena yang digelutinya sejak usia 10 tahun ini. Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang mengambarkan kelembutan perempuan Gowa.
Mak Joppong tak pernah mau ambil pusing dengan bayaran yang diterimanya. Dedikasi penuh pada tarian ini, membuatnya rela menerima seberapapun besarnya bayaran yang diberikan si pengundang.
Padahal selepas ditinggal suaminya wafat, kehidupannya banyak bergantung pada kesenian yang telah lama diusungnya ini. Namun biasanya, ia menerima bayaran sekitar 500 ribu hingga 1 juta rupiah, untuk tampil semalam suntuk, termasuk biaya sewa pakaian dan alat-alat.
Tubuh yang sudah renta termakan usia. kulit yang semakin keriput sejalan perjalanan hidup, tak membuatnya surut dalam berkarya bersama Tari Pakarena. Bahkan untuk membagi kebisaan yang didapat dari ayahnya ini. Ia sejak tahun 1978, mengajarkan Tari Pakarena kepada para gadis di kampungnya di Desa Kambini, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa.
Di rumahnya, yang merupakan rumah panggung kas Gowa yang disebut Balarate, para gadis melangkah, melengok, mengerakan tangannya mengikuti gerak si empu Pakarena Mak Joppong.
Saat ini ada 6 gadis yang menjadi anak didiknya, dan tak sepeserpun, Mak Joppong memunggut biaya. Tari Mak Joppong amat terasa sedih disaat salah seorang anak didiknya memasuki jenjang pernikahan.
Karena biasanya, usai menikah, anak didiknya tak lagi menekuni Tari Pakarena. Sebuah kebiasaan di Gowa, adalah hal yang tabu dan malu, bila seorang perempuan yang telah menikah tampil di muka umum.
Pandangan umum inilah yang menyebabkan Tari Pakarena seolah hanya selesai sampai di situ. Padahal tidak demikian buat Mak Joppong, Pakarena adalah Tarian sakral yang tidak semua perempuan mampu menarikannya. Ketekunan dan kesabaran menjadi modal utama buat Penari Pakarena. Itulah salah satunya yang dimiliki Mak Joppong hingga kini.
Kini nasib Tari Pakarena seolah hanya bersandar pada Mak Joppong semata. Selain hanya ia yang paham akan seluk beluk tarian ini, ia pula lah yang tetap setia mengusung tari tradisional yang pernah jaya di masa kerajaan Gowa dulu.
Penari Pakarena, begitu lembut mengerakan anggota tubuhnya. Sebuah cerminan wanita Sulawesi Selatan. Sementara iringan tetabuhan yang disebut Gandrang Pakarena, seolah mengalir sendiri. Hentakannya yang bergemuruh, selintas tak seiring dengan gerakan penari. Gandrang Pakarena, adalah tampilan kaum pria Sulawesi Selatan yang keras.
Tarian Pakarena dan musik pengiringnya bak angin kencang dan gelombang badai. Terang musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring tarian. Ia juga sebagai penghibur bagi penonton. Suara hentakan lewat empat Gandrang atau gendang yang ditabuh bertalu-talu ditimpahi tiupan tuip-tuip atau seruling, para pasrak atau bambu belah dan gong, begitu mengoda penontonya.
Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan Gondrong Rinci. Pemain Gandrang sangat berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan sepenuhnya bergantung pada pukulan Gandrang. Karena itu, seorang pemain Gandrang harus sadar bahwa ia adalah pemimpin dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena.
Biasanya selain jenis pukulan untuk menjadi tanda irama musik bagi pemain lainnya, seorang penabuh Gandrang juga mengerakan tubuh terutama kepalanya. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam petabuhan Gandrang.
Yang pertama adalah pukulan Gundrung yaitu pukulan Gandrang dengan menggunakan stik atau bambawa yang terbuat dari tanduk kerbau. Yang kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan.
Gemuruh suara yang terdengar dari sejumlah alat musik tradisional Sulawesi Selatan ini, begitu berpengaruh kepada penonton. Mereka begitu bersemangat, seakan tak ingat lagi waktu pertunjukan yang biasanya berlangsung semalam suntuk.
Semangat inipula yang membuat para pemain musiknya semakin menjadi. Waktu bergulir, hentakan Gandrang Pakarena terus terdengar. Namun entah sampai kapan Gandrang Pakarena akan terus ada.
Nasibnya amat bergantung pada Tarian Pakarena sendiri yang kini masa depannya seolah hanya berada di tangan Mak Joppong. Muda-mudahan semangatnya tak akan pudar, seiring dengan irama musiknya yang mencerminkan kerasnya lelaki Sulawesi Selatan
Posting Komentar